Foto

MM

Koleksi Cerpen Mufa Media: Teror Bom Waktu

Mufa Media - Untuk para penggemar sastra, khususnya cerpen yang sedang mencari cerpen original mungkin ini bisa dijadikan salah satu bacaan tersendiri. Cerpen ini adalah salah satu koleksi Mufa Media. Sebuah karya original dari penulis. Sebenarnya sudah lama ditulis, namun baru kali ini penulis dapat share ke publik. Selamat menikmati.

TEROR BOM WAKTU

Koleksi Cerpen Mufa Media: Teror Bom Waktu
 
Bayangan itu bergerak-gerak liar kesana kemari tanpa hiraukan ocehan burung-burung hantu yang senantiasa menebarkan suara-suara kemurungan yang memiriskan hati. Ocehan itu sudah beberapa hari ini meneror kampungku. Kampung yang selalu senyap tatkala senja tiba. Kampung yang selalu tertutupi oleh bayangan-bayangan aneh yang tak ada di kampung sebelah ataupun di kampung-kampung lainnya.

Anehnya, disana aku merasakan kehidupan yang damai dan menyenangkan. Hal itu karena dikampungku terliputi kabut tebal kesederhanaan. Walaupun dikampungku tak terdapat bangunan-bangunan megah pencakar langit, ataupun etalase-etalase tempat memajang barang-barang yang identik dengan simbol-simbol kemewahan seperti di kampung sebelah, disana masih terdapat taman-taman kedamaian yang subur, penuh dengan kesederhanaan dan kerendah hatian.

Kutahu saat ini kesederhanaan dan kerendahhatian tengah menjadi barang yang langka di kampung sebelah. Itu disebabkan banyak sekali penduduknya yang sengaja membuangnya ke lautan kesombongan yang tiada tepi ataupun menguburnya- dalam-dalam bersama gundukan sampah-sampah kebengisan yang telah menumpuk setinggi langit-langit rumah penduduknya.

Saat ini di sana mulai banyak orang yang sadar akan pentingnya kedua hal itu. Karena dengan keduanya mereka dapat, paling tidak memperlambat bom waktu yang secara tidak sadar telah mereka tanam sendiri di tanah kampung mereka itu. Tak satupun orang di desa tersebut tahu akan keberadaan bom waktu tersebut karena mata mereka seolah-olah telah rabun untuk melihat hal itu. Bom waktu itu ditanam oleh sekelompok orang dari mereka yang sakit hati dengan tingkah laku para penguasa disana.

Mereka telah diperlakukan dengan semena-mena dalam jangka waktu yang lumayan lama hanya karena mereka tidak mau mengikuti pola pikir para penguasanya. Pola pikir yang sangat mengagung-agungkan keduniawian dan mengangkat tinggi-tinggi keangkuhan serta membuang jauh-jauh kesederhanaan dan kerendahhatian. Yang berlaku saat ini adalah hukum rimba, siapa yang kuat maka dia yang dapat bertahan.

Mereka yang di dzolimi ini di asingkan di pulau terpencil yang angker, jauh dari keramaian, disiksa dengan sangat kejam, disayat-sayat hatinya hingga tak berbentuk, dipotong-potong nuraninya hingga jadi bagian-bagian kecil. Tak cukup sampai disitu. Luka-luka mereka masih disiram dengan- cairan air garam kebengisan. Sungguh kejadian yang mengerikan.
 
***
Seiring berjalannya waktu, akhirnya Dinasti pemerintahan dan segenap penduduk yang masih bertahan di sana mendengar juga tentang kabar tentang adanya bom waktu itu. Maka hal itu membuat mereka panik dan khawatir. Mereka bingung dan kalang kabut mencari penjinaknya. Karena kalau tidak dijinakkan, bom waktu itu akan meluluhlantakkan seluruh kampung beserta segala yang ada di atasnya termasuk mereka dan harta-harta mereka dari hasil menjarah milik orang-orang lemah atau sesama mereka lewat korupsi dan tindakan-tindakan penipuan yang dilakukan dengan sangat-sangat rapi sampai-sampai korbannya dibuat tersenyum-senyum sendiri persis seperti orang-orang gila.

Kasihan juga jika melihat keadaan mereka seperti itu. Kami tahu penjinaknya ada di kampung kami ini. Namun penjinak ini tidak kasat mata. Penjinak ini tersimpan dalam hati setiap dari penduduk kami. Sangat sulit untuk mengeluarkannya dari hati kami karena hati kami telah diliputi oleh cahaya keimanan yang terpancar dengan sangat terang sekali. Karena saking terangnya tak dapat diamati oleh kasat mata. Yang dapat melihatnya hanyalah mata bathin yang bersih dan senantiasa memancarkan cahaya terang berupa- ketaqwaan kepada-Nya serta jauh dari kegelapan-kegelapan dunia fana. Cahaya itu telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada masing-masing dari kami. Sedangkan keadaan penduduk kampung sebelah sangat parah sekali. Melihat dengan kasat mata saja tidak sanggup karena telah terkena racun dalam bentuk kabut yang dari waktu ke waktu semakin menebal dan menebal sampai-sampai menutupi dengan sempurna mata bathin mereka. Mata bathin itu telah tertutupi oleh kecongkakan dan keangkuhan mereka sendiri.

Seperti itulah keadaan para penghuni kampung sebelah kami. Bingung, khawatir , cemas dan seakan-akan sudah tak tahu arh kemana harus melangkah. Padahal penjinak yang lebih mirip penawar racun itu ada di masing-masing hati dari kami yang masih bersih dan jernih dan hanya bisa diambil oleh hati-hati yang bersih dan jernih pula.  Penjinak bom waktu sekaligus penawar racun itu adalah dua buah pancaran cahaya yakni kesederhanaan dan kerendahhatian.

Dengan posisi seperti ini kami sebagai tetangga kampung tak mampu berbuat apa-apa. Kami hanya mampu berdo,a dan berharap agar para penghuni kampung tetangga kami dapat segera terlepas dari keadaan itu dengan menyadarkan diri untuk segera membersihkan hati mereka dulu lalu mengambil penjinak bom itu dari hati sebagian dari- kami sehingga tidak terus menerus terteror oleh adanya bom waktu yang siap meluluhlantakkan mereka dan kampung mereka itu.

Saat ini kami menyaksikan mereka amat tersiksa dengan keadaan yang saat ini tengah terjadi di kampung itu. Sebuah keadaan yang sebenarnya terkondisikan karena ulah mereka sendiri. Keadaan itu tercipta karena fikiran mereka telah teracuni oleh zat-zat berbahaya yang bernama zat keangkuhan dan kesombongan. Mata bathin mereka telah tertutupi kabut kejahiliyahan yang sangat tebal sekali seakan-akan kabut itu terlalu tebal untuk ditembus.

Tidak hanya itu saja, bahkan saraf-saraf mereka telah teracuni virus-virus ketamakan yang merajalela disana sini. Sudah terlalu sulit untuk menemukan di kampung tetangga kami itu setetes kerendahhatian dari sumber-sumber air mereka yang telah lama kering. Sudah terlalu parah kegersangan yang melanda kampung itu. Air kesejukan dari langit seakan enggan turun ke bumi mereka untuk sekedar meresapkan tetesan kesejukannya, karena seakan-akan tanah telah  mengeras, sekeras batu-batu cadas akibat ulah mereka sendiri.

Kami disini tak tahu sampai kapan mereka dapat keluar dari masalah ini. Karena jawabannya ada di hati nurani dari masing-masing mereka.

Atau mungkin cerita tentang mereka hanya akan menjadi legenda dan catatan sejarah suram dari kehidupan ini. Semoga saja tidak.
***

Post a Comment

0 Comments